Jumat, 12 Desember 2014

Makalah Tentang Perjanjian Internasional, SMA

Makalah Tentang Perjanjian Internasional


Oleh: Aji Ridho Pangestu
Kelas: XI IPA 1



PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG
DINAS PENDIDIKAN
SMA NEGERI 1 BERMANI ULU
 Jalan Raya Sentral Baru, Kode Pos 39152








A.     Pendahuluan
1.       Latar Belakang

Kita sering sekali mendengarkan berita atau informasi mengenai berbagai bentuk hubungan yang telah dibentuk antar dua negara atau lebih, seperti halnya negara Indonesia. Hampir semua bangsa di dunia ini menjalin hubungan dengan bangsa lain. Di dalam hubungan tersebut biasanya disertai dengan ketentuan yang dibuat untuk melindungi kepentingan nasional dari negara-negara yang terlibat dalam hubungna tersebut. Ketentuan-ketentuan itu bersifat mengikat serta dibuat dalam bentuk aturan yang harus disepakati oleh bangsa-bangsa atau pihak-pihak yang mengadalah hubungan internasional. Dalam hubungan tersebut terikat dalam suatu perjanjian internasional. Tetapi, sekarang ini kita hanya mengetahui sekitas saja, tanpa ingin tahu lebih mendalam mengenai perjanjian internasional tersebut. Sehingga banyak orang yang belum mengetahui apakah perjanjian internasional itu, apakah yang menyebabkan diadakannya perjanjian internasional, dan lain-lain.

Oleh karena itu, kami menyusun dan merancang makalah ini agar para pembaca, baik siswa, guru, maupun umum dapat mengetahui secara luas mengenai perjanjian internasional dan bagiannya.

2.       Rumusan Masalah
a.       Tahukah Anda apakah pengertian perjanjian internasional itu?
b.       Apa sajakah istilah-istilah penting dalam perjanjian internasional?
c.        Dapatkan Anda jelaskan macam-macam perjanjian internasional?
d.       Apa sajakah tahap-tahap perjanjian internasional?
e.       Bagaimanakah proses pembuatan perjanjian internasional?
f.         Apakah yang menyebabkan suatu perjanjian internasional sah dan tidak sah?
g.       Kapankah perjanjian internasional mulai berlaku?
h.       Apa sajakah penyimpangan-penyimpangan dalam perjanjian internasional?
i.         Kapankah perjanjian internasional berakhir?
j.         Mengapa perjanjian internasional dapat dibatalkan?
k.        Tahukah Anda apakah Konvensi Wina itu? Dapatkah Anda jelaskan secara singkat sejarah dari Konvensi Wina?
3.       Tujuan dan Manfaat
a.       Tujuan
  • Agar para pembaca mengetahui tahap-tahap dari perjanjian internasional.
  • Supaya pembaca dapat mengetahui apakah yang dapat menyebabkan terbentuknya, pengesahan, pemberlakuan, pengakhiran, dan pembatalan perjanjian internasional.
  • Agar para pembaca mengetahui istilah-istilah penting dalam perjanjian internasional dan apasajakah bentuk penyimpangan perjanjian internasional.

b.       Manfaat
  • Dapat mengetahui pengertian dan istilah-istilah penting dalam perjanjian internasional.
  •  Dapat mengetahui macam-macam perjanjian internasional beserta tahap-tahapnya.
  • Dapat mengetahui proses pembuatan perjanjian internasional.
  • Dapat mengetahui hal-hal yang menyebabkan sah dan tidak sahnya suatu perjanjian internasional.
  • Dapat mengetahui pemberlakuan, penyimpangan, pengakhiran, dan pembatalan dalam perjanjian internasional.




B.     Tahap-Tahap Perjanjian Internasional


1.       Pengertian Perjanjian Internasionl
Berikut ini adalah beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli.
a.       Prof Dr.Mochtar Kusumaatmadja 
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum tertentu
b.       Oppenheimer-Lauterpacht  
Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang mengadakannya
c.        G. Schwarzenberger
Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional
d.       Konferensi Wina ((1969))
e.       Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu
f.         Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional
Perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan

Jadi dapat kita simpulkan bahwa, perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan mengakibatkan hukum tertentu. Perjanjian internasional sekaligus menjadi subjek hukum internasional. Perjanjian internasional juga lebih menjamin kepastian hukum serta mengatur masalah-masalah bersama yang penting. Disebut perjanjian internasional jika perjanjian diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.

Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian perjanjian internasional meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.       Perjanjian internasional pada hakikatnya adalah suatu persetujuan (agreement).
b.       Subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, akan tetapi dalam praktiknya sebagian besar yang membuat perjanjian internasional adalah negara dan organisasi internasional.
c.        Objek perjanjian internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
d.       Bentuk perjanjian internasional tidak harus dalam bentuk tertulis.
e.       Sebutan perjanjian internasional adalah bermacam-macam.

2.       Istilah-Istilah Perjanjian Internasional
Istilah-istilah dalam perjanjian internasional antara lain sebagai berikut.
a.       Trakat (Treaty), yaitu perjanjian paling formal yang merupakan persetujuan dari dua Negara atau lebih. Perjanjian ini khusus mencakup bidang politik dan bidang ekonomi.
b.       Konvensi (Convention), yaitu pesetujuan formal yang bersifat multilateral, dan tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Persetujuan ini harus dilegalisasi oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh (plaenipotentiones).
c.        Pesetujuan (Agreement), yaitu perjanjian yang bersifat teknis atau administratif. Agreement tidak diartikan karena sifatnya tidak seresmi trakat dan konvensi.
d.       Perikatan (Arrangement), yaitu istilah yang digunakan untuk transaksi-transaksi yang bersifat sementara. Perikatan ini tidak seresmi trakat dan konvensi.
e.       Proses Verbal, yaitu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatik, atau catatan-catatan suatu permufakatan. Proses verbal tidak diratifikasi.
f.         Piagam (Statute), yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan tertentu seperti pengawasan internasional yang mencakup tentang minyak atau mengenai lapangan kerja lembaga-lembaga internasional. Piagam itu dapat digunakan sabagai alat tambahan untuk pelaksanaan suatu konvensi (seperti piagam kebebasan transit).
g.       Prokol (Protocol), yaitu persetujuan yang tidak resmi dan pada umumnya dibuat oleh kepala Negara, mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausul-klausul tertentu.
h.       Deklarasi (Declaration), yaitu Perjanjian internasional yang berbentuk trakat, dan dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai trakat bila menerangkan suatu judul dari batang tubuh ketentuan trakat, dan sebagai dokumen tidak resmi apabila merupakan lampiran pada trakat atau konvensi, Deklarasi sebagai persetujuan tidak resmi bila mengatur hal-hal yang kurang penting.
i.         Modus (Vivendi), yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara, sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih permanen, terinci, dan sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.
j.         Pertukaran Nota, yaitu metode yang tidak resmi, tetapi akhir-akhir ini banyak digunakan. Biasanya, pertukaran nota dilakukan oleh wakil-wakil militer dan negara serta dapat bersifat multirateral. Akibat pertukaran nota ini timbul kewajiban yang menyangkut mereka.
k.        Ketentuan Penutup (Final Act), yaitu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara peserta, nama utusan yang turut diundang, serta masalah yang disetujui konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi.
l.         Ketentuan Umum (Generak Act), yaitu trakat yang dapat bersifat resmi dan tidak resmi. Misalnya, LBB (Liga Bangsa-Bangsa) menggunakan ketentuan umum mengenai arbitasi untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional tahun1928.
m.      Charter, yaitu istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administraif. Misalnya, Antalantic Charter.
n.       Pakta (Pact), yaitu istilah yang menunjukan suatu persetujuan yang lebih khusus (Pakta Warsawa). Pakta membutuhkan ratifikasi.
o.       Convernant, yaitu anggaran dasar LBB (Liga Bangsa-Bangsa)
p.       Diplomasi (Diplomacy), yaitu sarana yang sah (legal), terbuka dan terang-terangan yang digunakan oleh suatu Negara dalm melaksanakan poltik luar negeri. Untuk menjalin hubungan di antara Negara-negara itu, biasanya negara tersebut saling menempatkan perwakilan (konsuler atau kedutaan).
q.       Negoisasi, yaitu untuk mengadakan perundingan / pembicaraan baik dengan Negara di mana ia diakreditas maupun oleh Negara lain.

3.       Macam-Macam Perjanjian Internasional
a.       Berdasarkan Jumlah Pihak Yang Terlibat
Berdasarkan jumlah pihak yang terlibat dalam perjanjian, perjanjian internasional terbagi kepada dua bentuk:
1)       Perjanjian Bilaterial
Perjanjian internasional merupakan kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional (Negara, tahta suci, kelompok pembebasan, organisasi internasional) mengenai suatu obyek tertentu yang dirumuskan secara tertulis dan tunduk pada atau yang diatur oleh hukum internasional.
Dalam pengertian lain, perjanjian bilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Perjanjian bilateral merupakan perjanjian yang bersifat khusus (treaty contract) karena hanya mengatur ha-hal yang menyangkut kepentingan kedua negara saja. Perjanjian ini bersifat tertutup, yaitu menutup kemungkinan bagi pihak lain untuk turut dalam perjanjian tersebut.
Contonya:
·         Perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1974
·         Perjanjian bilateral Indonesia India di bidang pertahanan dan ekonomi pada tahun 2011
·         Perjanjian bilateral Indonesia Perancis di berbagai bidang pada tahun 2011
·         Perjanjian bilateral Indonesia Timor Leste di bidang lingkungan pada tahun 2011<
·         Perjanjian bilateral Indonesia Vietnam di bidang kebudayaan dan hukum pada tahun 2011
2)       Perjanjian Multilateral
Perjanjian multilateral berarti perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak. Perjanjian ini biasanya tidak hanya mengatur kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Dalam definisi lain, perjanjian multilateral didefinisikan sebagai perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak. Dalam perjanjian ini tidak hanya mengatur kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tetapi juga mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan bersifat terbuka, yaitu memberi kesempatan bagi negara lain untuk turut serta dalam perjanjian tersebut, sehingga perjanjian ini sering disebut law making treaties.
Contohnya:
·         Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untu mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.
·         Konvensi Wina 1986, Perjanjian internasional sebagai persetujuan internasional yang diatur menurut hukum internasional dan ditanda tangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi internasional, antarorganisasi internasional.
·         Oppenheimer-Lauterpact, Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang mengadakan.
·         Konvensi Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.
·         Konvensi Hukum Laut (tahun 1958).
·         Konvensi Winna (tahun 1961) tentang Hubungan Diplomatik.
b.      Berdasarkan lsinya
1.       Segi politis, seperti Pakta Pertahanan dan Pakta Perdamaian. Contohnya adatah NATO, ANZUS dan SEATO;
2.       Segi ekonomi, seperti bantuan ekonomi dan bantuan keuangan. Contohnya adalah Cgi , IMF dan iBRD;
3.       Segi hukum, seperti status kewarganegaraan (Indonesia-RRC), ekstradisi, dan sebagainya;
4.       Segi batas wilayah seperti laut territorial, batas alam daratan dan sebagainya;
5.       Segi kesehatan seperti masalah karantina, penanggulangan wabah penyakit AIDS.
c.       Berdasarkan Prosesi Tahapan Pembentukannya
1.       Perjanjian bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi;
2.       Perjanjian bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan;
3.       Setiap negara yang berdaulat memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional. Sedangkan negara bagian tidak mempunyai wewenang mengadakan perjanjian internasional, kecuali jika diberi wewenang untuk itu oleh konstitusi negara federal.
d.      Berdasarkan Subjeknya
1.       Perjanjian antarnegara yang dilakukan oleh banyak negara yang merupakan subjek hukum internasional;
2.       Perjanjian internasional antarnegara dan subjek hukum internasional lainnya. Misalnya antara organisasi internasional Tahta Suci (vatikan) dengan organisasi MEE;
3.       Perjanjian antarsesama subjek Hukum Internasional selain negara, yaitu antara organisasi internasional organisasi internasional Iainnya. Misalnya kerja sama ASEAN dan MEE.
e.       Berdasarkan Bentuknya
1.       Perjanjian antar kepala negara (head of state form)
2.       Perjanjian antar pemerintah (intergovernmental form)
3.       Perjanjian antar menteri (interdepartemental form)
f.        Perjanjian Internasional Berdasarkan Instrumennya
Berdasarkan instrumennya, maka perjanjian internasional (PI) ada yang berbentuk tertulis, ada pula yang lisan. PI tertulis dituangkan dalam bentuk formal secara tertulis, antara lain berupa treaty, convention, agreement, arrangement, charter, covenant, statute, constitution, protocol, declaration, dan lain-lain. Sedangkan PI lisan diekspresikan melalui instrumen-instrumen tidak tertulis. Ada berbagai macam PI tidak tertulis, misalnya:
1.       Perjanjian Internasional Lisan (international oral agreement)
PI lisan disebut juga gentlement agreement, biasanya disepakati secara bilateral, untuk mengatur hal-hal yang tidak terlalu rumit, bersifat teknis namun merupakan materi umum. 
Misalnya:
The London Agreement 1946 yang mengatur distribusi keanggotaan Dewan Keamanan (DK) PBB.
2.       Deklarasi Sepihak (Unilateral Declaration)
Deklarasi Unilateral adalah pernyataan suatu negara yang disampaikan wakil negara tersebut yang berkompeten (presiden, perdana menteri, menteri luar negeri, menteri-menteri lain) dan ditujukan kepada negara lain. Deklarasi itu dapat menjadi perjanjian apabila memang mengandung maksud untuk berjanji sehingga menimbulkan kewajiban pada negara yang berjanji dan hak yang dapat dituntut oleh negara yang menjadi tujuan deklarasi tersebut. Misalnya: pernyataan kemerdekaan oleh rakyat Palestina.
3.       Persetujuan Diam-Diam (Tacit Agreement atau Tacit Consent) atau Persetujuan Tersimpul (Implied   Agreement)
Perjanjian ini dibuat secara tidak tegas artinya adanya PI tersebut dapat diketahui hanya melalui penyimpulan suatu tingkah laku, baik aktif maupun pasif dari suatu negara atau subyek hukum internasional lainnya.
g.      Perjanjian Internasional Berdasarkan Kaidah hukum yang Dilahirkannya.
Penggolongan Perjanjian Internasional dari segi kaidah terbagi dalam 2 (dua) kelompok:
1.       Treaty Contract 
        Treaty Contract Sebagai perjanjian khusus atau perjanjian tertutup, merupakan perjanjian yang hanya melahirkan kaidah hukum atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hanya berlaku atau mengikat antara pihak-pihak yang bersangkutan saja.Perjanjian ini bisa saja berbentuk perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral. Perlu menjadi catatan bahwa sebagaimana sifatnya yang khusus dan tertutup menyangkut kepentingan-kepentingan para pihak yang bersangkutan saja, maka tidak ada relevansinya bagi pihak lain untuk ikut serta sebagai pihak di dalamnya dalam bentuk intervensi apapun, maupun relevensinya bagi para pihak yang bersangkutan untuk mengajak atau membuka kesempatan bagi pihak ketiga untuk ikut serta di dalamnya.
Misalnya:
a.       Perjanjian Ekstradisi 1974 antara Indonesia dan Malaysia.
b.       Perjanjian Indonesia dan RRC tentang dwikewarganegaraan, akibat-akibat yang timbul dalam perjanjian tersebut hanya mengikat dua negara saja yaitu Indonesia dan RRC.
2.       Law Making Treaty
Law Making Treaty Sebagai perjanjian umum atau perjanjian terbuka, merupakan perjanjian-perjanjian yang ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang dilahirkannya dapat diikuti oleh subjek hukum internasional lain yang semula tidak ikut serta dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Dengan demikian perjanjian itu, ditinjau dari segi isi atau materinya maupun kaidah hukum yang dilahirkannya tidak saja berkenaan dengan kepentingan subjek-subjek hukum yang dari awal terlibat secara aktif dalam proses pembuatan perjanjian tersebut, melainkan juga dapat merupakan kepentingan pihak-pihak lainnya atau bersifat multilateral.
Oleh karena itulah dalam konteks subjek hukumnya adalah Negara.Biasanya negara-negara perancang dan perumus perjanjian itu membuka kesempatan bagi negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk ikut sebagai peserta atau pihak dalam perjanjian tersebut. Semakin bertambah banyak negara-negara yang ikut serta di dalamnya maka semakin besar pula kemungkinannya menjadi kaidah hukum yang berlaku umum. 
Law making treaty ini pun dapat dijabarkan lagi berdasarkan jenisnya menjadi:
a.       Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diaturnya adalah masalah yang menjadi kepentingan beberapa negara saja.
b.       Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diatur di dalamnya merupakan kepentingan sebagian besar atau seluruh negara di dunia.
c.        Perjanjian terbuka atau umum yang berdasarkan ruang lingkup masalah ataupun objeknya hanya terbatas bagi negara-negara dalam satu kawasan tertentu saja.
Misalnya:
1)       Konvensi Hukum Laut tahun 1958,
2)       Konvensi Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik,
h.      Perjanjian Internasional Berdasarkan Cara Berlakunya
Dari segi cara berlakunya,Perjanjian Internasional dibedakan atas :
1.       Self Executing (berlaku dengan sendirinya)
Disebut self executing,bila sebuah perjanjian internasional langsung berlaku setelah diratifikasi oleh negara tertentu.
2.       Non Self-Executing
Disebut non self-executing,bila sebuah Perjanjian Internasional harus dilakukan perubahan UU terlebih dahulu sebelum berlaku.


4.       Tahap-Tahap Perjanjian Internasional
Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional, ada beberapa tahapan atau langkah dalam pembuatan perjanjian internasional. Tahapan pembuatan perjanjian internasional secara universal didasarkan pada ketentuan dalam Konvensi Wina 1969. Prosedur pembuatan perjanjian internasional berdasarkan Konvensi Wina 1969 meliputi langkah-langkah berikut.
a.       Perundingan (Negotiation)
Dalam hubungan internasional mutlak diperlukan upaya pembicaraan dan pemecahan berbagai persoalan yang timbul antara negara yang satu dengan negara lainnya. Hal ini mendorong negara-negara tersebut untuk mengadakan perundingan yang pada akhirnya melahirkan suatu treaty (kesepakatan). Tujuan diadakannya perundingan tersebut untuk bertukar pandangan tentang berbagai masalah, seperti masalah politik, ekonomi, penyelesaian sengketa atau pendirian lembaga-lembaga internasional, seperti PBB, ILO, dan WTO.
Setelah para pihak bersepakat untuk mengadakan perundingan, tiap-tiap negara menunjuk organ-organ yang berkompeten untuk menghadiri perundingan. Dalam konstitusi suatu negara maupun dalam Konvensi Wina 1969, kepala negaralah yang bertanggung jawab tentang terselenggaranya perundingan itu. Akan tetapi, dalam praktik diplomatik jarang sekali kepala negara ikut dalam perundingan dan hanya diwakili oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh.
Apabila perundingan tidak dilakukan oleh kepala negara, dapat dihadiri oleh menteri luar negeri, atau wakil diplomatiknya, atau wakil-wakil yang ditunjuk dan diberi surat kuasa penuh (full power letter) untuk mengadakan perundingan dan menandatangani atau menyetujui teks perjanjian dalam konferensi. Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Wina 1969 pasal 7 ayat (1) dan (2).
Perjanjian bilateral dalam perundingan disebut dengan talk, sedangkan untuk perjanjian multilateral disebut dengan diplomatic conference atau dilakukan dengan konferensi diplomat. Perundingan yang demikian dapat juga dilakukan secara tidak resmi yang sering disebut dengan corridor talk atau lobbying, yaitu dilakukan pada waktu istirahat saling bertukar pikiran atau saling mempengaruhi.


b.      Penandatanganan (Signature)
Setelah berakhirnya perundingan, pada teks perjanjian yang telah disetujui oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tanda tangan atau mereka menandatangani protokol tersendiri sebagai prosedur penandatanganan. Protokol adalah persetujuan yang isinya melengkapi (suplemen) suatu konvensi. Akibat dari penandatanganan suatu perjanjian tergantung pada ada tidaknya persyaratan ratifikasi perjanjian tersebut. Apabila perjanjian atau traktat harus diratifikasi, penandatanganan hanya berarti utusan-utusan telah menyetujui teks perjanjian dan bersedia menerimanya serta akan meneruskan kepada pemerintah yang berhak untuk menerima atau menolak traktat tersebut. Jadi, mengikatnya perjanjian dinilai mengikat setelah diratifikasi oleh pihak yang berwenang.
Dalam perjanjian bilateral penandatanganan dilakukan oleh kedua wakil negara yang telah melakukan perundingan sehingga penerimaan hasil perundingan secara bulat-bulat penuh, mutlak sangat diperlukan oleh kedua belah pihak. Sebaliknya, dalam perjanjian multilateral penandatanganan naskah hasil perundingan dapat dilakukan jika disetujui 2/3 dari semua peserta yang hadir dalam perundingan, kecuali jika ditentukan lain.
c.       Pengesahan (Ratifikasi)
Sesudah penandatanganan oleh wakil berkuasa penuh, para delegasi meneruskan naskah perjanjian tersebut kepada pemerintahnya untuk meminta persetujuan. Oleh karena itu, dibutuhkan penegasan oleh pemerintah yang bersangkutan setelah mereka mempelajari dan setelah diajukan kepada parlemen bilamana perlu. Penegasan tersebut dinamakan dengan ratifikasi atau pengesahan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian bahwa perjanjian itu akan mengikat tanpa harus diratifikasi terlebih dahulu. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa ratifikasi bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada negara-negara peserta guna mengadakan peninjauan serta pengamatan secara saksama terhadap isi perjanjian. Dengan demikian, negara dapat mengambil keputusan untuk mengikatkan diri atau tidak terhadap perjanjian tersebut.

Menurut Mochtar Kusumaatmaja ada dua macam cara pembentukan perjanjian internasional :
a.       Perjanjian internasional yang dibentuk melalui 3 tahap yaitu (perundingan, penandatanganan, ratifikasi atau pengesahan), cara ini dupakai apabila materi atau yang diperjanjikan itu dianggap sangat penting maka perlu persetujuan DPR.
b.       Perjanjian internasional yang dibentuk melalui 2 tahap yaitu ( perundingan dan penandatanganan) dipakai untuk perjanjian yang tidak begitu penting, penyelesaian cepat, berjangka pendek, seperti Perjanjian perdagangan.
Menurut  Hukum Positif Indonesia, pada pasal 11 ayat 1 UUD 1945 dosebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan Negara lain.  Dalam Undang-undang RI  No. 24 tahun 2000 ditegaskan bahwa pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap ( penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan).
Menurut Undang-Undangnomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tahap-tahap Perjanjian Internasional (proses pembuatan perjanjian Internasional) adalah sebagai berikut :
  • Tahap Penjajakan. Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
  • Tahap Perundingan. Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah2 teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
  • Tahap Perumusan Naskah. Merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
  • Tahap Penerimaan. Merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/ approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
  • Tahap Penandatanganan. Merupakan tahap akhir da1am perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral,penandantanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak.Keterikatan terhadap perjanjian Internasional (Menurut Pasal 6 Ayat 1).
  • Tahap Pengesahan. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan akan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan dengan keputusan Presiden selanjutnya diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Mekanisme dan prosedur pinjaman dan/atau hibah luar negeri beserta persetujuannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur dengan undang-undang tersendiri (Menurut Pasal 9).

Hal – Hal Penting Dalam Proses Pembuatan Perjanjian Internasional

  • Harus dinyatakan secara formal/resmi
  • Bermaksud untuk membatasi, meniadakan , atau mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian itu


5.       Pembuatan Perjanjian Internasional
a.       Dasar Pembuatan Perjanjian Internasional 
            Indonesia merupakan Negara yang memiliki sikap politik bebas aktif didalam menjalin hubungan internasional. Bebas dalam menentukan arah kebijakan Indonesia terhadap perkembangan politik dunia dan menentukan keberpihakan pemerintah Indonesia terhadap suatu blok/organisasi internasional tertentu sesuai dengan kebijakan dalam negeri. Berperan aktif dalam seluruh kegiatan dunia internasional yang sesuai dengan kebijakan dalam negeri dalam rangka menjaga perdamaian dan ketertiban dunia serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia.
            Pemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional, melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang diwujudkan dalam perjanjian internasional. Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat Negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen perundang-undangan yang jelas pula.
            Dasar dari pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional yang berlandaskan dari Undang – Undang Dasar 1945. Tata cara tentang pembuatan perjanjian, pengesahan, pemberlakuan, penyimpanan, pengakhiran perjanjian serta ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam perjanjian internasional diatur di dalam undang-undang tersebut.

b.      Dalam pembuatan perjanjian internasional ada beberapa istilah yang melekat didalamnya, antara lain: 
1)       Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance)dan penyetujuan (approval) (pasal 1b).
2)       Surat kuasa (Full Power) adalah surat kuasa yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan Negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional (pasal 1c).
3)       Surat kepercayaan (Credentials) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional (pasal 1d).
4)       Pensyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu Negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral (pasal 1e).
5)       Pernyataan (Declaration) adalah pernyataan sepihak suatu Negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas makna tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban Negara dalam perjanjian internasional (pasal 1f).
c.       Sistematika Pembuatan Perjanjian Internasional 
1)       Judul
2)       Preamble
3)       Isi
a)       Objective
b)       Area of Cooperation / Scope of Cooperation
c)       Executing Agency (if necessary)
d)       Implementing Arrangement
e)       GRTK / IPR (if any joint research on area of cooperation)
f)        Settlement of Dispute
g)       Amendment
h)       Final Provision
4)       Closing
6.       Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
a.       Ketentuan Umum
b.       Pembuatan Perjanjian Internasional
c.        Pengesahan Perjanjian Internasional
d.       Pemberlakuan Perjanjian Internasional
e.       Penyimpanan Perjanjian Internasional
f.         Pengakhiran Perjanjian Internasional
g.       Ketentuan Peralihan
h.       Ketentuan Penutup


Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:

a.       Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
b.       Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
c.        Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
d.       Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri. Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.



Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
a.       masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b.       perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
c.        kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d.       hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e.       pembentukan kaidah hukum baru;
f.         pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa: ”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.
Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1969, ada enam unsur yang dapat menjadi dasar tidak sahnya perjanjian internasional yaitu:
a.       Ketidakwenangan perutusan,
b.      Kekhilafan,
c.       Penipuan,
d.      Penyalahgunaan wewengan,
e.       Paksaan,
f.        Bertentangn dengan ius cogens/prisip hukum yang memaksa dan tidak dapat diingkari atau disimpangi oleh ketentuan hukum lain, kecuali ius cogens lain yang timbul kemudian.
7.      Pemberlakuan Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional mulai berlaku pada saat peristiwa berikut :
a.       Mulai berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh negara-negara perunding.
b.       Jika tidak ada ketentuan atau persetujuan, perjanjian mulai berlaku segera setelah perjanjian diikat dan
c.        dinyatakan oleh semua negara perunding.
d.       Bila persetujuan suatu negara untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian itu berlaku, maka perjanjian
e.       mulai berlaku bagi negara itu pada tanggal tersebut, kecuali bila perjanjian menentukan lain.
f.         Ketentuan-ketentuan yang mengatur pengesahan teks, pernyataan persetujuan,suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan, fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah
g.       lain yang timbul sebelum berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujuinya teks perjanjian itu.

Menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut :
a.       Penandatanganan;
b.       Pengesahan;
c.        Pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d.       Cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.
8.       Penyimpangan Perjanjian Internasional
Berdasarkan UU RI Nomor 24 Tahun 2000 Pasal 17.

PENYIMPANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 17

a.       Menteri bertanggung jawab menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia serta menyusun daftar naskah resmi dan menerbitkannya dalam himpunan perjanjian internasional.
b.       Salinan naskah resmi setiap perjanjian internasional disampaikan kepada lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen pemrakarsa.
c.        Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan naskah resmi suatu perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada sekretariat organisasi internasional yang di dalamnya Pemerintah Republik Indonesia menjadi anggota.
d.       Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan piagam pengesahan perjanjian internasional kepada instansi-instansi terkait.
e.       Dalam hal Pemerintah Republik Indonesia ditunjuk sebagai penyimpan piagam pengesahan perjanjian internasional, Menteri menerima dan menjadi penyimpan piagam pengesahan perjanjian internasional yang disampaikan negara-negara pihak.
9.       Pengakhiran Perjanjian Internasional
Berdasarkan UU RI Nomor 24 Tahun 2000 Pasal 18-20.

PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 18

Perjanjian internasional berakhir apabila :

a.       Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian; b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai; c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian; d. salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian; e. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama; f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional; g. objek perjanjian hilang; h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Pasal 19
Perjanjian internasional yang berakhir sebelum waktunya, berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat berakhirnya perjanjian tersebut.

Pasal 20
Perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi negara, tetapi tetap berlaku selama negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir apabila:
a.       Telah tercapainya tujuan perjanjian.
b.       Masa berlakunya perjanjian internasional sudah habis.
c.        Salah satu pihak peserta perjanjian internasional menghilang, atau punahnya obyek perjanjian internasional.
d.       Adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian.
e.       Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang terdahulu
f.         Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian sudah terpenuhi.
g.       Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima pihak lain.

10.   Pembatalan Perjanjian Internasional
Hal-hal yang menyebabkan dibatalkannya suatu perjanjian antara lain:
  • Terjadinya pelanggaran.
  • Adanya kecurangan
  • Ada pihak yang dirugikan.
  • Adanya ancaman dari sebelah pihak
11.   Sejarah Konvensi Wina 1969
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (Vienna Convention 1969) mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional (sekarang sudah tidak ada lagi) maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional (sebagai perwujudan dari opinion juris).
Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of conduct yang mengikat) mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional (seperti yang dilakukan AS, mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun 2002 lalu). Dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar Negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada konsen dari seluruh Negara anggota Vienna Convention tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang dapat berubah apabila ada tren internasional baru.
Maka Vienna Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini Vienna Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya. Untuk referensi mengenai Vienna Convention 1969 ini lebih jelasnya dapat dilihat dari general comment dan traveaux preparatoir dari konvensi ini maupun dari buku-buku karangan T.O. Elias dan I.M. Sinclair mengenai Law of Teaties.

C.     Kesimpulan dan Saran

Hampir semua bangsa di dunia ini sudah menjalin hubungan dengan bangsa lain. Di dalam hubungan tersebut biasanya disertai dengan ketentuan yang dibuat untuk melindungi kepentingan nasional dari negara-negara yang terlibat dalam hubungan tersebut. Ketentuan-ketentuan itu bersifat mengikat serta dibuat dalam bentuk aturan yang harus ditaati oleh bangsa-bangsa atau pihak-pihak yang mengadakan hubungan internasional. Ketentuan-ketentuan itu disepakati bersama dalam bentuk perjanjian internasional.
Dalam membuat perjanjian internasional menempuh beberapa proses, yakni penjajakan, perundingan, perumusan naskah perjanjian, penerimaan naskah perjanjian, dan penandatanganan. Perjanjian internasional sangatlah bermacam-macam, seperti perjanjian internasional berdasarkan jumlah peserta, berdasarkan sifatnya, berdasarkan objeknya, dan lainnya. Dalam pelaksanaan perjanjian internasional kita dapat menemui kegagalan, ketidak sahan, penyimpangan, bahkan dapat membuat perjanjian internasional itu berakhir, dan kesemuanya itu telah kami sajikan dalam bab pembahasan.
Dalam perjanjian internasional telah  diatur ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan setiap negara yang terlibat dalam hubungan intenasional. Dalam suatu kerja sama internasional, melibatkan banyak negara dengan berbagai perbedaan misalnya karakter, cita-cita, atau bahkan ideologi yang dianut negara-negara tersebut. Maka, sangatlah mungkin dalam sebuah kerja sama internasional akan terjadi perselisihan, bahkan bisa berakibat terjadi konflik. Oleh karena itulah, adanya perjanjian internasional dapat menjadi rambu-rambu bagi negara-negara tersebut agar tidak melanggar ketentuan-ketentuan dan etika dalam hubungan internasional.








DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.
Burhan Tsani, Mohd. 1990. Hukum dan Hubungan Internasional Cetakan Pertama. Yogyakarta: Liberty.
Rahmawati Noviana, Septina Damayanti, dan Siti Nurjanah. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan SMA/MA dan SMK/MAK Kelas XI Semester Genap. Klaten: Viva Pakarindo
Starke, J.G. 2003. Pengantar Hukum Internasional 1. Jakarta: Sinar Grafika.

Sumber lain:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar